Sabtu, 30 Maret 2013

Telaah Juanal Ilmiah





No

Judul Dan Tahun Jurnal

Aspek Teori
Aspek Metode Penelitian
Temuan Dan Maknanya
Kontribusi Bagi Pengembangan Skripsi
1.
EKSPERIMENTASI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD DAN JIGSAW PADA POKOK BAHASAN SISTEM PERSAMAAN LINEAR DUA VARIABEL DITINJAU DARI MOTIVASI BELAJAR.

Oleh: Idha Novianti

Program Studi Pendidikan Matematika F-KIP Universitas Terbuka Tangerang Selatan 154118
1 Maret 2012
Model pembelajaran yang dapat menempatkan siswa sebagai pusat belajar adalah model pembelajaran kooperatif. Model pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran dimana siswa belajara bersama dengan kelompok-kelompok kecil yang salig membantu dan bekerja sama dalam memahami pokok bahasan pelajaran atau tugasnya (Depdiknas, 2006:5).
Zakaria dan Iksan (2007:37) dalam penelitiannya yang berjudul promoting cooperative learning in science and mathematics education menyatakan penggunaan model pembelajaran kooperatif pada matematika dan ilmu sains sangat efektif.
Model Pembelajaran Koooeratif Student Team Achievement Devision (STAD) yang dikembangkan oleh Robert Slavin dan Teman-temannya di Universitas John Hopkin (dalam Slavin, 1995) merupakan pembelajaran kooperatif yang sederhana, dan merupakan pembelajaran kooperatif yang cocok digunakan oleh guru yang baru mulai menggunakan pembelajaran kooperatif. Selain itu juga, Agustin (2005) dalam penelitiannya mengenai model pembelajaran kooperatif Tipe Jigsaw, menyatakan bahwa presentasi belajar siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, dapat memberikan hasil belajar lebih baik.




Penelitian ini menggunakan tiga macam motode untuk mengumpulkam data antara lain: Metode Tes yang digunakan untuk mengumpulkan data mengenai prestasi belajar matematika sisiwa. Metode Angket digunakan untuk mengetahui motivasi belajar matematika siswa. dan Metode Dokumentasi digunakan untuk memperoleh data awal yaitu nama dan nilai ulangan tengah semester (UTS) pada pelajaran matematika. Prasyarat analisis menggunakan uji Liliefors untuk uji normalitas, uji homogenitas menggunakan uji Bartlett, dengan menggunakan taraf signifikasnsi (α) = 5%
Dengan melihat rataan marginal STAD sebesar 64,298 dan Jigsaw sebesar 59,711, disimpulkan bahwa model pembelajaran STAD menghasilkan prestasi belajar yang lebih baik dibandingkan dengan model pembelajaran Jigsaw.
Selain itu juga temuan yang dihasilkan dalam penelitian ini yakni; dengan penggunaan model pembelajaran STAD pembelajaran menjadi menyenangkan dan materi pelajaran menjadi mudah dipahami. Oleh karena itu STAD dapat dijadikan salah satu referensi model pembelajaran matematika yang dapat
meningkatkan prestasi belajar matematika siswa.
Tidak terdapat interaksi antara model pembelajaran.
Dengan Penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi guru dan calon guru untuk meningkatkan kualitas prestasi belajar matematika siswa. Prestasi belajar matematika siswa dapat ditingkatkan dengan memperhatikan model pembelajaran yang digunakan. Pembelajaran matematika dengan STAD dapat dijadikan suatu alternatif model pembelajaran apabila guru dan calon guru matematika ingin melakukan proses pembelajaran matematika.

2.
MODEL DESAIN KURIKULUM PELATIHAN PROFESI GURU VOKASIONAL BERBASIS TECHNOLOGICAL CURRICULUM

Oleh : Neni Rohaeni dan Yoyoh Jubaedah (Dosen Jurusan PKK FPTK UPI)
12 Februari 2012
Pelatihan merupakan mekanisme dalam mengembangkan kecakapan seseorang untuk meningkatkan sumber daya manusia.Menurut Wenting, kurikulum pelatihan melibatkan kegiatan-kegiatan yang penting dan sifatnya rumit. Dengan demikian kurikulum pelatihan seyogyanya harus direncanakan dan didesain sedemikian rupa agar memenuhi apa yang dibutuhkan oleh peserta pelatihan. Kebutuhan merupakan kondisi dari ”apa yang ada” dan ”apa yang seharusnya” Wenting,1993; Gall & Borg, 2002).
Dengan demikian hasil analisis dapat digunakan sebagai landasan dalam mengembangkan model kurikulum pelatihan yang bertujuan untuk meningkatkan profesionalisme guru vokasional dalam mengimplementasikan kurikulum di lapangan.
Wenting (1993)menyatakan bahwa pengembangan program pelatihan merupakan desain utama dari aktivitas pelatihan. Lebih lanjut Smith (1982) mengungkapkan bahwa pengembangan program dalam aktivitas pelatihan merupakan proses yang membuat pelatihan dilangsungkan secara sistematis.
Pelatihan menurut Sikula (Sumantri, S.; 2001 : 2), adalah : ”Proses pendidikan jangka pendek yang menggunakan prosedur yang sistematis dan terorganisasi. Pengertian pelatihan menurut Nadler (Knowles, 1977) mengemukakan bahwa: …those activities which designed to improve performance on the job employes is presently doing or is being hired to do…The purpose of training is to either introduce a new behavior or modify the existing behaviors so that a particular and specified kind of behavior result. Pengertian pelatihan tersebut menunjukkan bahwa pelatihan sebagai keseluruhan aktivitas dirancang untuk meningkatkan kinerja pegawai dalam melaksanakan pekerjaan pegawai. Tujuannya adalah memperkenalkan tingkah laku baru atau memodifikasi tingkah laku pegawai saat ini sehingga menghasilkan perilaku atau sikap yang lebih spesifik dan lebih baik. Pelatihan menurut Sculer (Rosyid, 1997 : 40) mengemukakan bahwa : “training and development is defined as the human resources prestice area whose focused is identifying assessing, and through planned learning helping develop the key competencies which enable to perform current job”. Pelatihan menurut Wills (1993: 10) merupakan serangkaian aktivitas yang ditujukan kepada individu atau kelompok dalam suatu organisasi, serta memiliki (1) Kejelasan tujuan, (2) Metode pengajaran spesifik, (3) Melibatkan orang-orang tertentu, dan (4) Memiliki ‘assessing objectives’.
Model yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
1.   Model Desain Kurikulum Model desain kurikulum ini dapat dikaji dari fokus pengajarannya, yaitu: (a) Subject centered design, suatu desain kurikulum yang berpusat pada bahan ajar; (b) Learner centered design, suatu desain kurikulum yang mengutamakan peranan siswa; dan (c) Problem centered design, desain kurikulum yang berpusat pada masalah-masalah yang dihadapi dalam masyarakat. Berdasarkan organisasi kurikulum, model desain kurikulum meliputi: (1) Separated subject curriculum (Isi kurikulum disusun dalam bentuk mata-mata pelajaran); (2) Correlated curriculum (Isi kurikulum disusun dengan menghubungkan mata-mata pelajaran yang terkait); (3) Broadfiled curriculum (Isi kurikulum memadukan materi dari mata-mata pelajaran yang serumpun); (4) Fused curriculum (Isi kurikulum merupakan paduan dari sejumlah/semua mata pelajaran; dan (5) Integrated curriculum (Isi kurikulum betul-betul terpadu, tidak jelas lagi asal mata pelajarannya).
2.      Model Konsep Kurikulum Model konsep kurikulum yang dapat dijadikan dasar di dalam pengembangan kurikulum terdiri dari empat model. Sesuai dengan yang dikemukakan Syaodih (2001), yaitu : Model konsep kurikulum dari teori pendidikan klasik disebut kurikulum subjek akademis, pendidikan pribadi disebut kurikulum humanistik, teknologi pendidikan disebut kurikulum teknologis dan pendidikan interaksionis disebut kurikulum rekonstruksi sosial. Dalam model konsep kurikulum ini, pendidikan berfungsi untuk memelihara dan mewariskan hasil-hasil budaya masa lalu.

Penelitian ini merupakan studi pengembangan (Research anad Development) yang dilaksanakan selama dua tahun. Metode penelitian yang digunakan pada tiap tahap (tahun) berbeda sesuai dengan pentahapan dan tujuan penelitian.
Pada tahun pertama telah menghasilkan temuan sebagai berikut : (1) Kriteria pembelajaran vokasional yang ideal berdasarkan pendapat para ahli, (2) Kriteria kompetensi yang harus dimiliki oleh guru voksional berdasarkan pendapat para ahli, (3) Performance guru vokasional di lapangan, (4) Identifikasi kebutuhan guru dalam melangsungkan pembelajaran vokasional sesuai dengan kriteria ideal, (5) Model desain kurikulum pelatihan berbasis Technological Curriculum yang sesuai dengan kebutuhan guru vokasional.
Pada tahun kedua akan dilakukan : (1) Pengembangan model desain kurikulum pelatihan guru vokasional berbasis Technological Curriculum dengan melakukan uji validasi model oleh tim ahli. (2) Penyempurnaan model desain kurikulum pelatihan profesi guru vokasional berbasis Technological Curriculum untuk menghasilkan model final.
Kontribusi Bagi Pengembangannya terdapat beberapa diantaranya:
1.      Guru Vokasional. Guru vokasional sebagai pelaksana kurikulum seyogianya terus berupaya untuk lebih meningkatkan kompetensinya secara profesional, sehingga performance yang ditampilkan memenuhi tuntutan kompetensi tenaga pendidik secara komperehensif.
2.  Koordinator Penyelenggara Pendidikan dan Latihan Profesi Guru.
Penyelenggaraan Pendidikan dan Latihan Profesi Guru seyogianya mengakomodasi harapan para guru di lapangan sesuai dengan need assessment, khususnya berkaitan dengan Model Desain Kurikulum Pelatihan Profesi Guru…., (Neni Rohaeni dan Yoyoh Jubaedah) 53
substansi materi pelatihan dan durasi waktu pelatihan, sehingga kompetensi para peserta pelatihan menunjukkan peningkatan sesuai dengan tujuan yang harus dicapai.
3.
IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER KERJA KERAS DAN KERJA SAMADALAM PERKULIAHAN.

Oleh Ikhwanuddin
FT Universitas Negeri Yogyakarta
Tahun II, Nomor 2, Juni 2012
Karakter adalah atribut atau ciri khususyang membentuk dan membedakan individu dan kombinasi rumit antara mental dan nilai-nilai etika yang membentuk seseorang seseorang, kelompok atau bangsa. Di pihak lain, Hasan dkk. (2010) mengemukakan
bahwa karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Secara akademis, menurut Lickonapendidikan karakter dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, atau pendidikan akhlak yang tujuannya mengembangkan
kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan tersebut dalam kehidupan seharihari dengan sepenuh hati (Zuchdi, 2009).
Schwartz (Budiastuti, 2010) mengemukakan bahwa pendidikan karakter sering digunakan untuk merujuk bagaimana seseorang menjadi “baik”, yaitu orangyang menunjukkan kualitas pribadi yang sesuai dengan yang diinginkan masyarakat. Pendidikan karakter adalah usaha sengaja untuk mengembangkan kebajikan, baik untuk individu maupun masyarakat.
Tujuan pendidikan karakter adalah untuk membantu siswa untuk mengembangkan sikap yang baik yang akan memungkinkan mereka untuk berkembang secara intelektual, pribadi dan sosial (Boston
University School of Education, 2002). Covey (Bassiouny, dkk, 2008) menyatakan:“As dangerous as little knowledge is, even more dangerous is much knowledge without a strong principled character” (sebahaya-bahayanyaorang yang sedikit pengetahuan, lebih berbahaya
orang yang banyak pengetahuan, namun karakternya tidak baik).Rich menyatakan ada beberapa nilai
yang perlu dipelajari dan diajarkan di sekolah, yang dinamai sebagai Mega Skills,
antara lain: percaya diri (confidence), motivasi (motivation), usaha (effort), tanggungjawab (responsibility), inisiatif (initiative), kemauankuat (perseverence), kasih sayang
(caring), kerja sama (team work) (Zuchdi
dkk, 2009). Huitt (2000) menjelaskan enampilar karakter yang dipilih oleh banyak sekolah di Amerika Serikat untuk diterapkan dalam pembentukan karakter, yaitu trustworthiness(jujur dan dapat percaya), responsibility
(bertanggung jawab), respect (menghormati orang lain), fairness (keadilan), dan caring (peduli kepada orang lain).
Ari Ginanjar, pencetus Emotional Spiritual Quotient Way (ESQ-way) mengusulkan
tujuh nilai utama yang sekaligus menjadi tujuh budi utama, di antaranya adalah:
jujur, tanggung jawab, disiplin, dan kerjasama, serta peduli (Zuchdi, dkk., 2009).Lickona dan Davidson (dalam Smith, 2006)menyatakan bahwa program pendidikan karakter hendaknya mengajarkan nilai-nilai yang universal tertentu, antara lain kerja keras, dan peduli, baik hati, dan saling menghormati. Menurut Lickona (Husen, dkk., 2010),ada tiga aspek penting dalam pendidikan karakter, yaitu (1) tahu apa yang baik (knowingthe good atau disebut moral knowing); (2) menyukai yang baik (desiring the good atau moral feeling); dan (3) menjalankan yang baik (acting the good atau moral action).
Aspek mtode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian dilakukan lewat penelitiantindakan kelas (PTK) yang meliputi empat langkah utama, yaitu: rencana tindakan, tindakan, observasi dan refleksi. Keempat langkah ini dalam suatu penelitian tindakan disebut satu siklus .Observasi bertujuan
untuk mengamati tindakan yang dilakukan. Observasi dan tindakan berjalan pararel.Refleksi bertujuan untuk menganalisis sisi positif dan negatif tindakan berdasarkan tujuan dan target penelitian. Siklus tindakan diakhiri setelah ditemukan model indakan terbaik untuk mencapai target penelitian.

Temuan dan makna yang diperoleh dalam penelitian ini adalah
1.   Integrasi pendidikan karakter kerjakeras dan kerja sama mampu memberisumbangan positif dalam pembentukankarakter dan berdampak pada peningkatanprestasi akademik secara lebihmerata pada semua mahasiswa.
2.   Metode integrasi pendidikan karakter adalah (1)penyampaikan nilai-nilai(value) karakter pada saat penyampaian“teori konstruksi” sebagai dasar untuk menyelesaikan tugas; (2)penyampaiannilai-nilai dikaitkan dengan “isi” materiteori konstruksi; (3) pemantauan internalisasinilai melalui wawancara tentangproses pengerjaan dalam konsultasitugas mingguan.
3.   Indikator karakter kerja keras adalah kedisiplinan berkonsultasi dan kualitastugas secara mingguan sesuai jadwal,sedangkan indikator kerjasama adalahpembagian tugas, komunikasi, interaksi,dan inisiatif.
Sistem pendidikan selama ini dianggaptelah gagal mengemban amanah pendidikan nasional, yaitu membentuk manusia Indonesia yang utuh, cerdas, dan terampil sekaligus bertakwa, berakhlak mulia, tertib, dan patuh hukum. Kini, disadari bahwa pendidikan karakter sama pentingnya dengan pendidikan penguasaan pengetahuan dan keterampilan penggunaan teknologi. Oleh sebab itu, pengintegrasian pendidikan karakter dalam kurikulum, silabus, dan proses pembelajaran merupakan kebutuhan mendesak yang harus segera direalisasikan secara nasional, dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Dengan demikian dengan adanya penelitian ini dapat dikembangkan oleh para guru dalam pengintegrasian pendidikan karakter dalam kurikulum, silabus, dan proses pembelajaran.
4.
MENINGKATKAN PEMAHAMAN SISWA PADA KONSEP LISTRIK
MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAWPADA SISWA KELAS IX SMPN 43 BANDUNG.

Oleh: Yani Nurhaeni
Jurnal Penelitian Pendidikan Vol. 12 No. 1
April 2011
Silberman (2001:160), membagi prosedur/tahap jigsaw sebagai berikut: (1) Memilih materi belajar yang dapat dipisah menjadi bagian-bagian. Sebuah bagian dapat disingkat seperti sebuah kalimat atau beberapa halaman; (2) Menghitung jumlah bagian belajar dan jumlah peserta didik dengan satu cara yang pantas, membagi tugas yang berbeda pada kelompok yang berbeda,
kemudian diminta untuk membaca, mendiskusi, dan mempelajari materi yang ditugaskan kepada mereka; (3) Setelah selesai kemudian dibentuk kelompok jigsaw. Setiap kelompok ada seorang
wakil dari masing-masing kelopmpok dalam kelas, sehingga akan mengelompok siswa dengan permasalahan yang sama; (4) Anggota kelompok ahli kemudian mengajarkan materi yang telah
dipelajari dalam kelompok Jigsaw, kepada teman lain di kelompoknya; dan (5) Siswa
dikumpulkan kembali menjadi kelas besar untuk membuat ulasan dan disisakan pertanyaan guna memastikan pemahaman yang tepat bagi siswa.
Penelitian ini menggunakan Metode Penelitian Tindakan Kelasdengan tahapan sebagaiberikut: Perencanaan Pelaksanaan Pengamatan-Refleksi. Hasil dari refleksi siklus I selanjutnya akan digunakan untuk perencanaan siklus II dengan tahapan sama dengan siklus I dan hasil
refleksi siklus II akan di gunakan untuk perencanaan siklus III. hasil refleksi siklus III akan di gunakan untuk perencanaan siklus IV.
Hasil temuan dan hasil analisis hasil data yang diperoleh dilapangan,diperoleh temuan sebagai berikut:
1.   Dengan menggunakan tindakan pembelajaran koopertif tipe jigsaw pada konsep listrik ternyata dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap pelajaran fisika pada konsep listrik. Meningkatnya pemahaman siswa terhadap pelajaran fisika konsep listrik dapat dibuktikan darihasil tindakan siklus I sampai siklus IV meningkatnya pemahaman siswa pada setiap siklusmembuktikan adanya perubahan pada siswa dalam hal mengikuti belajar siswa dengan menggunakan pembelajaran kooperatif tipe jigsaw ini terutama pada tingkat pemahaman.
2.   Penerapan pembelajaran kooperatif tipe jigsaw pada konsep listrik pada pelajaran fisikaternyata sangat antusias, aktif dan efektif dapat dibuktikan dari hasil aktifitas belajar siswakelas IX SMPN 43 Bandung pada setiap siklus dan tergolong sangat meningkat dibuktikandengan tabel rata-rata hasil aktivitas belajar siswa dan dalam bekerja dengan kelompoknyasangat solid dan kompak.
3.   Sikap dan respon siswa terhadap pembelajaran fisika pada konsep listrik dengan menggunakanpembelajaran kooperatif tipe jigsaw sangat menyenangkan bagi siswa dan sangat semangat danrespon yang positif baik dalam mengikuti pembelajaran maupun dalam bekerja sama denganteman sekelompoknya sehingga dapat memahami konsep yang sedang diajarkan dibuktikandengan diberi pernyataan pada setiap siswa berkaitan dengan pembelajaran kooperatif tipejigsaw dan tekhnik ini pun dirasakan siswa menyenangkan dan dominan menjawab ya dan setuju.
Kontribusi Bagi Pengembangan dalam penelitian ini antara lain:
1.  Bagi sekolahHendaknya sekolah memberikan fasilitas pengajaran yang memadai sehingga gurudapatmengembangkan kreasinya dengan menggunakan berbagai model–model pembelajaran
2.  Bagi guru
Guru hendaknya mampu menguasai betul prosedur untuk meningkatkan pemahaman siswadengan menggunakan pembelajaran kooperatif tipe jigsaw.
3.  Bagi siswa
Dengan pembelajaran kooperatif tipe jigsaw diharapkan dapat meningkatkan pemahamansiswa pada konsep listrik
4.  Bagi Dinas Pendidikan
Diharapkan dapat mengadakan pembinaan–pembinaan terhadap guru untuk meningkatkan
mutu pendidikan.

5.
PERBANDINGAN PENGGUNAAN MULTIMEDIA SECARA TUTORIAL DANPRESENTASI TERHADAP PENGUASAAN KONSEP DAN KETERAMPILAN
PROSES SAINS (KPS) PADA KONSEP SISTEM PERTAHANAN TUBUH.

Oleh: Eni Nuraeni (eni.bio_upi@yahoo.com)
Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA UPI.
Dadang Machmudin
Tenten Hermansyah
Jurnal Pendidikan, Volume 13, Nomor 1, Maret 2012
Menurut Rustaman et al. (2003) pengalaman belajar siswa akan semakin bermakna jikasiswa aktif untuk mengamati suatu hal.Menurut Reeds (2006), terdapat suatu format yang dapat memperkaya lingkungan belajardengan menampilkan informasi melalui berbagai variasi penyampaian. Format tersebut adalah
multimedia.
Green dan Brown (2002),
mendefinisikan bahwa multimedia dapat dikatakan suatu metode penyampaian informasi dengan menggunakan dua atau lebih variasi yang meliputi grafik (gambar dua dimensi), audio, text dan interaktivitas (komponen navigasi pada suatu program komputer).
Penggunaan multimedia tidak hanya dapat digunakan dalam meningkatkan penguasaan
konsep. Newby et al. (2006), mengemukakan bahwa penggunaan multimedia dapat digunakan
dalam mengajarkan keterampilan yang lebih tinggi. Senada dengan pernyataan tersebut, Nuraeni (2006)mengemukakan bahwa penggunaan multimedia interaktif dapat meningkatkan kemampuan inkuiri siswa secara signifikan. Kemampuan inkuiri yang dimaksud di antaranya keterampilan
berhipothesis, interpretasi, prediksi, merencanakan percobaan, bertanya dan berkomunikasi. Kemampuan inkuiri yang dimaksud tersebut termasuk juga ndicator dari keterampilan proses sains.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan penggunaan multimedia terhadappenguasaan konsep dan KPS pada konsep sistem pertahanan tubuh secara tutorial dan presentasi.
Metode penelitian yang digunakan yaitu Quasy Eksperiment.Desain yang digunakan yaitupre-test post-test, nonequivalent multiple group design (Wiersma, 1995).  Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini di antaranya pokok uji penguasaan konsep,
pokok uji KPS, angket, wawancara
Temuan yang diperoleh dalam penelitian ini yaitu; penggunaan multimedia secara tutorialmemberikan hasil yang lebih baik dibandingkan metode presentasi terhadap penguasaan konsep sistem pertahanan tubuh.Banyak faktor yang memungkinkan hal tersebut dapat terjadi, di antaranya adalah faktor
pengalaman belajar dan pemenuhan terhadap kebutuhan belajarsiswa. Aspek motivasi yang timbul dalam pembelajaran turutmempengaruhi hasil belajar. Dahar (1996) mengemukakan bahwa konsep-konsep yang dimiliki seseorang akan terbentuk melalui pengalaman-pengalaman.
Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa penggunaan metode tutorial akan lebih memotivasi minat belajar siswa dibandingkan melalui metode presentasi. Angket yang diberikan menunjukan bahwa metode tutorial
dapat dikatakan lebih menyenangkan dibandingkan presentasi.Newby et al. (2006), menyatakan bahwa tutorial menyediakan instruksi individual yangoptimal. Semua siswa mendapatkan perhatian individu yang mereka butuhkan, sehingga
menyediakan partisipasi tingkat tertinggi siswa. Penggunaan tutorial melalui komputer dapat
mengatasi tingkat perkembangan siswa. Siswa yang belajar lambat akan belajar sesuai kecepatan belajarnya.Penggunaan multimedia tidak hanya efektif untuk mengembangkan penguasaan konsepsaja. Akan tetapi dapat digunakan untuk keterampilan yang lebih tinggi. Nuraeni (2006),
mengemukakan bahwa penggunaan multimedia interaktif mampu meningkatkan kemampuan inkuiri. Keterampilan inkuiri tersebut di antaranya meliputi keterampilan komunikasi dan menerapkan konsep. Oleh karena itu penggunaan multimedia memungkinkan untuk mengembangkan KPS yaitu keterampilan komunikasi dan menerapkan konsep.Metode tutorial memiliki kelebihandalam hal tingginya tingkat interaktifitas siswa. Metode ini juga menyediakan instruksi individual yang
optimal dan mampu meningkatkan minat belajar siswa. Dengan demikian metode ini cocok
digunakan terhadap pembelajaran secara individual. Metode presentasi cocok digunakan untuk menangani jumlah siswa yang banyak, sehingga memungkinkan siswa untuk mendapatkan informasi yang sama. Peran guru pada metode presentasi juga memberikan pengaruh yang baik terhadap proses pembelajaran (Newby et al., 2006). Dengan demikian kedua metode yang digunakan berpotensi memberikan kesempatan belajar yang baik kepada siswa.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kebutuhan siswa dalampembelajaran semakin meningkat. Siswa membutuhkan akses terhadap guru ndicator al, waktu kelas yang memadai, pemenuhan material belajar, penyediaan ruang kerja, dan sumber-sumber belajar yang mereka butuhkan di sekitar mereka (McLaughlin & Arbeider, 2008). Siswa membutuhkan aksestersebut agar mereka mendapatkan pengalaman belajar yang lebih bermakna, sehingga perlu adanya pemenuhan terhadap kebutuhan siswa tersebut.
Berdasarkan hal tersebut aspek proses perlu diperhatikan, dan pengamatan merupakan salah satu dari keterampilan proses sains (KPS), begitu pula keterampilan mengelompokan dan mengkomunikasikan. Oleh karena itu KPS diperlukan dalam mengembangkan aspek proses dalam pembelajaran. Dengan demikian hasilnya dapat digunakan untuk membantu siswa dalam kebermaknaan belajar. Pengembangan proses pembelajaran dilakukan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan siswa yang beragam.
Metode pengajaran dengan menggunakan komputer sebagai tutor dapat menambah jumlah ”guru” di dalam kelas (Newby et al., 2006). Dengan demikian seorang guru dapat memperluas perhatiannya terhadap pembelajaran di dalam kelas dengan bantuan multimedia, sehingga
kebutuhan setiap siswa terhadap guru professional dapat dipenuhi.